Petir dan Bogor adalah dua hal yang sulit di pisahkan. Fenomena alam berupa kilatan cahaya di-langit itu memang identik dengan Kota Bogor, Bahkan, Bogor yang dikenal dengan sebutan kota hujan ini pernah memiliki hari sambaran petir per tahun tertinggi di dunia. Dari 365 hari dalam setahun, petir singgah sebanyak 322 hari di kota tersebut (88 persen dari jumlah hari dalam setahun).
Bogor hanyalah salah satu dari sekian banyak kota di Tanah Air yang kerap didatangi petir. Posisi geografis Indonesia menjadi penyebab tingginva sambaran petir tersebut. Karakteristik wilayah Indonesia terbentang dari barat hingga timur khatulistiwa sepanjang 5.110 kilometer. Dengan garis meredian membujur dari utara ke selatan sepanjang 1.888 kilometer menimbulkan ancaman dan risiko tersendiri bagi Indonesia. Dengan posisi geografis seperti ini, Indonesia menjadi salah satu tempat di dunia ini yang memiliki hari sambaran petir tertinggi di dunia.
Dalam mitologi kuno, sambaran petir digambarkan sebagai seorang petir bernama Zarpanit. Kisah ini terlukis di candi Summerer, Mesopotania Selatan. Dikisahkan, petir mempunyai daya rusak yang sangat tinggi. Jika dikaitkan dengan karakteristik Indonesia, aktivitas ekonomi masyarakat di Indonesia memang menghadapi risiko sambaran petir yang cukup besar dan berdampak negatif secara materi ataupun jiwa menurut Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Fisika,Universitas Nasional (Unas), Prof Djuheri; kerugian akibat petir sangat besar. Biasanya, penyebab dari kerusakan bangunan terutama karena besar dari arus petir dan kecuraman petir yang bisa mencapai 200 kA.
Kilatan petir mengandung muatan listrik 100 juta volt, Energi sebesar itu bisa memanaskan suhu udara hingga mencapai 40 ribu derajat Celsius. "Bisa dibayangkan betapa besar energi yang dihasilkan atau betapa bahayanya jika menyambar makhluk hidup," katanya kepada Republika di Jakarta, akhir pekan lalu. Sebagai gambaran, energi listrik yang dilontarkan dari kilatan petir itu setara dengan 300 ton beban yang jatuh pada ketinggian 100 meter.
Sebenarnya, kata Djuheri, sekitar 80 persen sambaran petir terjadi antar-awan, baik awan yang berbeda maupun di dalam awan itu sendiri. Baru sisanya sebanyak 20 person turun ke bumi. Namun, sambaran petir itu tetap masih banyak menimbulkan kerugian. Dengan berkembang pesatnya peralatan elektronika dan mikroelektronika, sambaran tidak langsung menjadi ancaman yang menakutkan meski menganai tempat jauh. Ketakutan itu, kata Djuheri, karena radiasi, induksi, dan konduksi dari gelombang elektromagnetik.
Seperti yang dicatat Badan Pemadam Kebakaran Austria, kerugian karena sambaran petir tiap tahun cenderung naik: Pada1981 kerugian karena sambaran langsung berjumlah 34 kasus dengan nilai kerugian sekitar 7,50 juta dolar AS dan sambaran tidak langsung 16.049 dengan nilai kerugian 27,70 juta dour AS. Dalam satu dekade kemudian, meningkat menjadi 59 dengan nilai 12,219 juta dolar AS dan 25.685 juta dolar AS sambaran tidak langsung.
Sambaran petir tidak saja dapat merusak fasilitas dan aktivitas produksi, namun juga memerlukan waktu tersendiri untuk mengembalikannya pada kondisi sernua. Selama waktu perbaikan, perusahaan tidak saja kehilangan kesempatan untuk berproduksi, namun juga akan kehilangan konsumen.
Kerusakan instalasi komputer di Koln, Jerman pada 1989 merupakan ilustrasi yang sangat jelas, Sebuah gedung yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi instalasi komputer tersebut ikut tersambar petir. Kenaikan tegangan yang disebabkan sambaran petir tersebut mengakibatkan kerusakan computer. Perbaikan perangkat komputer sekitar Rp 1 miliar, namun, kerugian karena tidak bekerjanya computer mwncapai Rp 4 miliar.
Dengan risiko petir yang demikian besar, maka diperlukan alat penangkal petir. Saat ini telah dikembangkan alat elektrostatik dan membran sistem. Peralatan yang mempunyai tingkat efektivitas menangkal hingga 90 persen umumnya sudah terpasang di gedung-gedung pencakar langit. Namun, di sektor industri kecil dan perumahan, alat tersebut belum terpasang. "Hanya sedikit yang menggunakan penangkal petir jenis elektrostatik dan membran sistem ini," katanya
Industri kecil ataupun perumahan warga masih banyak yang menggunakan penangkal petir konvensional atau bahkan tidak menggunakan penangkal jenis apa pun. Ini sangat berbahaya. Karena penangkal petir konvensional masih memungkinkan terjadi induksi bahkan menyebabkan penangkalnya ikut jebol. Namun meskipu bahayanya sangat besar, masyarakat tak acuh terhadap kerugian yang diakibatkan oleh petir Itu terlihat dari masih sedikitnya penggunaan penangkal petir.
"Untuk mengurangi kerugian akibat petir, masyarakat sebaiknya membeli elektronik yang mempunyai penangkal petir internal," cetus dia. Kini di pasaran, alat elektronik yang dilengkapi dengan penangkal petir internal sudah dipasarkan. Namun, masih saja ada pabrik yang mengabaikan antipetir internal ini.
Di Indonesia, hingga kini masih memungkinkan menjadi sasarann petir terbesar. Besar atau banyaknya petir sendiri terpengaruh oleh awan dan cuaca. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), secara umum frekuensi hari terjadinya sambaran petir di indonesia cukup tinggi. "Indonesia masih tetap menjadi sasaran," katanya.
Disarikan dari : http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/news/mbl_detail.php?news_id=1567
Bogor hanyalah salah satu dari sekian banyak kota di Tanah Air yang kerap didatangi petir. Posisi geografis Indonesia menjadi penyebab tingginva sambaran petir tersebut. Karakteristik wilayah Indonesia terbentang dari barat hingga timur khatulistiwa sepanjang 5.110 kilometer. Dengan garis meredian membujur dari utara ke selatan sepanjang 1.888 kilometer menimbulkan ancaman dan risiko tersendiri bagi Indonesia. Dengan posisi geografis seperti ini, Indonesia menjadi salah satu tempat di dunia ini yang memiliki hari sambaran petir tertinggi di dunia.
Dalam mitologi kuno, sambaran petir digambarkan sebagai seorang petir bernama Zarpanit. Kisah ini terlukis di candi Summerer, Mesopotania Selatan. Dikisahkan, petir mempunyai daya rusak yang sangat tinggi. Jika dikaitkan dengan karakteristik Indonesia, aktivitas ekonomi masyarakat di Indonesia memang menghadapi risiko sambaran petir yang cukup besar dan berdampak negatif secara materi ataupun jiwa menurut Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Fisika,Universitas Nasional (Unas), Prof Djuheri; kerugian akibat petir sangat besar. Biasanya, penyebab dari kerusakan bangunan terutama karena besar dari arus petir dan kecuraman petir yang bisa mencapai 200 kA.
Kilatan petir mengandung muatan listrik 100 juta volt, Energi sebesar itu bisa memanaskan suhu udara hingga mencapai 40 ribu derajat Celsius. "Bisa dibayangkan betapa besar energi yang dihasilkan atau betapa bahayanya jika menyambar makhluk hidup," katanya kepada Republika di Jakarta, akhir pekan lalu. Sebagai gambaran, energi listrik yang dilontarkan dari kilatan petir itu setara dengan 300 ton beban yang jatuh pada ketinggian 100 meter.
Sebenarnya, kata Djuheri, sekitar 80 persen sambaran petir terjadi antar-awan, baik awan yang berbeda maupun di dalam awan itu sendiri. Baru sisanya sebanyak 20 person turun ke bumi. Namun, sambaran petir itu tetap masih banyak menimbulkan kerugian. Dengan berkembang pesatnya peralatan elektronika dan mikroelektronika, sambaran tidak langsung menjadi ancaman yang menakutkan meski menganai tempat jauh. Ketakutan itu, kata Djuheri, karena radiasi, induksi, dan konduksi dari gelombang elektromagnetik.
Seperti yang dicatat Badan Pemadam Kebakaran Austria, kerugian karena sambaran petir tiap tahun cenderung naik: Pada1981 kerugian karena sambaran langsung berjumlah 34 kasus dengan nilai kerugian sekitar 7,50 juta dolar AS dan sambaran tidak langsung 16.049 dengan nilai kerugian 27,70 juta dour AS. Dalam satu dekade kemudian, meningkat menjadi 59 dengan nilai 12,219 juta dolar AS dan 25.685 juta dolar AS sambaran tidak langsung.
Sambaran petir tidak saja dapat merusak fasilitas dan aktivitas produksi, namun juga memerlukan waktu tersendiri untuk mengembalikannya pada kondisi sernua. Selama waktu perbaikan, perusahaan tidak saja kehilangan kesempatan untuk berproduksi, namun juga akan kehilangan konsumen.
Kerusakan instalasi komputer di Koln, Jerman pada 1989 merupakan ilustrasi yang sangat jelas, Sebuah gedung yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi instalasi komputer tersebut ikut tersambar petir. Kenaikan tegangan yang disebabkan sambaran petir tersebut mengakibatkan kerusakan computer. Perbaikan perangkat komputer sekitar Rp 1 miliar, namun, kerugian karena tidak bekerjanya computer mwncapai Rp 4 miliar.
Dengan risiko petir yang demikian besar, maka diperlukan alat penangkal petir. Saat ini telah dikembangkan alat elektrostatik dan membran sistem. Peralatan yang mempunyai tingkat efektivitas menangkal hingga 90 persen umumnya sudah terpasang di gedung-gedung pencakar langit. Namun, di sektor industri kecil dan perumahan, alat tersebut belum terpasang. "Hanya sedikit yang menggunakan penangkal petir jenis elektrostatik dan membran sistem ini," katanya
Industri kecil ataupun perumahan warga masih banyak yang menggunakan penangkal petir konvensional atau bahkan tidak menggunakan penangkal jenis apa pun. Ini sangat berbahaya. Karena penangkal petir konvensional masih memungkinkan terjadi induksi bahkan menyebabkan penangkalnya ikut jebol. Namun meskipu bahayanya sangat besar, masyarakat tak acuh terhadap kerugian yang diakibatkan oleh petir Itu terlihat dari masih sedikitnya penggunaan penangkal petir.
"Untuk mengurangi kerugian akibat petir, masyarakat sebaiknya membeli elektronik yang mempunyai penangkal petir internal," cetus dia. Kini di pasaran, alat elektronik yang dilengkapi dengan penangkal petir internal sudah dipasarkan. Namun, masih saja ada pabrik yang mengabaikan antipetir internal ini.
Di Indonesia, hingga kini masih memungkinkan menjadi sasarann petir terbesar. Besar atau banyaknya petir sendiri terpengaruh oleh awan dan cuaca. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), secara umum frekuensi hari terjadinya sambaran petir di indonesia cukup tinggi. "Indonesia masih tetap menjadi sasaran," katanya.
Disarikan dari : http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/news/mbl_detail.php?news_id=1567
Tidak ada komentar:
Posting Komentar