Kamis, 13 November 2008

Penangkal Petir dan Pengetanahan


1. Penangkal Petir Eksternal
Berbagai usaha dilakukan oleh tiap stasiun pemancar dan pemilik gedung-gedung yang tinggi untuk melakukan proteksi terhadap surja petir. Dimana untuk memasang suatu sistem penangkal ini dibutuhkan beberapa komponen utama seperti, air terminations (ujung penangkal), down conductors (penghantar turun), dan earth terminations (ujung pengetanahan).

1.1. Ujung Penangkal
Ujung Penangkal atau yang lebih sering disebut finial adalah perangkat utama yang akan melakukan kontak langsung terhadap sambaran petir di udara. Oleh sebab itu, ujung finial sebagai ujung tombak penangkap muatan di tempat tertinggi pada bangunan-bangunan stasiun pemancar dan bangunan lainnya. Untuk tiap sistem bentuk dari finial dapat bervariasi tergantung dari pabrik dimana finial tersebut diproduksi, pemilihan bahan dapat disesuaikan dan melalui pendekatan pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang PIPP (Pengawasan Instalasi Penyalur Petir). Demikian halnya dengan penghantar penurunan dan ujung pengetanahan. Tiap sistem memiliki bentuk dan ukuran finial yang berbeda, hal ini karena disesuaikan dengan kebutuhan, baik tingkat proteksi, estetika bangunan, keamanan dan faktor-faktor lainnya. Beberapa bentuk finial yang beredar khususnya di Indonesia menunjukkan bahwa tiap perusahaan dapat memproduksi ujung penangkal yang sama tipe-nya tapi beda bentuknya.

1.2 Penghantar Turun
Penghubung antara ujung penangkal dengan pengetanahan adalah penghantar turun ini. Pada umumnya untuk hubungan ini dipakai kawat konduktor jenis bare copper (tembaga telanjang) BC-60, BC-50 atau yang lebih besar yaitu menara sebagai konduktor arus petir ke tanah.
Pemanfaatan menara sebagai konduktor tidak dapat diandalkan mengingat bahwa sambungan komponen-komponen penyusun menara itu sendiri terkadang dalam keadaan terisolasi dengan pelapisan cat. Di tambah sifat bahan yang pada umumnya adalah korosif. Jadi dirasa perlu untuk menambahkan konduktor yang secara langsung terhubung ke pengetanahan.
Penghantar penurunan dapat memakai kabel ataupun plat logam dimana umumnya memakai tembaga atau alumunium. Untuk kabel tentunya lebih fleksibel dan mudah untuk dipasang sedang plat mempunyai kelebihan impedansinya yang lebih rendah. Penghantar yang telanjang tentunya mempunyai resiko terjadi tegangan pindah yang tinggi karena tidak ada isolasi.

1.3 Ujung Pengetanahan Dan Sambungan
Pengetanahan peralatan atau “earth terminations” yang dimaksud adalah “pengetanahan bagian dari peralatan yang pada kerja normal tidak dilalui arus”.Ujung pengetanahan yang dimaksud adalah elektroda pengetanahan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah adanya pembatasan tegangan antara bagian-bagian peralatan yang tidak dialiri arus dan dengan tanah sampai pada harga yang tidak membahayakan baik dalam keadaan normal maupun tidak. Selain itu agar didapat impedansi sekecil mungkin untuk jalan balik arus hubung singkat ke tanah.
Dengan demikian ujung pengetanahan adalah suatu elektroda yang tertanam ke tanah dengan metoda tertentu untuk mencapai tujuan di atas dan dengan demikian maka arus yang turun dari konduktor dapat mengalir ke tanah dengan sebaik mungkin.
Sambungan yang dimaksud adalah bonding antara kabel ke kabel dan kabel ke konduktor lain. Hal ini juga mendapat perhatian sebab kegagalan sambungan juga dapat menghalangi kinerja dari suatu sistem proteksi petir.

2 Berbagai Tipe Penangkal Petir
Penerapan sistem penangkal petir di lapangan, pada prakteknya sangat bervariasi baik dipengaruhi faktor klimatologi, geografi, ekonomi bahkan juga kulturnya. Jadi pastilah tidak semua sistem yang sudah ada akan mengikuti idealisme penerapan teknologi sistem yang baru karena disesuaikan dengan kebutuhan dan atas pertimbangan tertentu.

Faktor-faktor ini seringkali cukup menarik perhatian para pengguna sistem, sehingga berbagai macam tipe penangkal petir perlu dipahami dimana letak perbedaannya.

2.1 Penangkal Petir Franklin.
Pengamanan bangunan terhadap sambaran kilat dengan menggunakan sistem penangkal petir Franklin merupakan cara yang tertua namun masih sering digunakan karena hasilnya dianggap cukup memuaskan, terutama untuk bangunan-bangunan dengan bentuk tertentu, seperti misalnya : menara, gereja dan bangunan-bangunan lain yang beratap runcing.
Telah banyak buku-buku atau paper-paper yang membahas mekanisme kilat, biasanya bila pada awan terjadi aktivitas pembentukan atau pengumpulan muatan, maka pada permukaan bumi ( merupakan bayangan dari awan ) terinduksi muatan dengan polaritas yang berlawanan itu, timbulah medan listrik yang amat kuat diantara awan dan bumi. Medan listrik yang amat kuat itu menyebabkan obyek-obyek di permukaan bumi yang letaknya relatif tinggi seperti misalnya puncak pohon, ujung atap bangunan dan sebagainya serentak melepaskan muatan yang berasal dari bumi berupa ion-ion positif. Ion-ion ini membentuk saluran seperti pita udara yang bergerak ke arah pita yang dibentuk oleh ion-ion yang berasal dari muatan negatif dari awan. Bila kedua ujung pita ini bertemu di suatu titik udara, maka terjadilah sambaran balik.
Berdasarkan atas teori ini, Franklin menempatkan sebuah batang penangkal petir dengan ujungnya dibuat runcing di bagian teratas dari bagian yang akan dilindungi. Ujung batang penangkal petir ini dibuat runcing dengan tujuan agar pada keadaan dimana terjadi aktivitas penumpukan muatan di awan, maka diujung itulah akan terinduksi muatan dengan rapat muatan yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan rapat muatan dari muatan-muatan yang terdapat pada bagian-bagian lain dari bangunan, dengan demikian dapat diharapkan bahwa kilat akan menyambar ujung dari batang penangkal petir itu terlebih dahulu.

Batang penangkal petir ini kemudian di ketanahkan melalui penghantar turun ke elektroda pengetanahan. Tujuan dari penghantar turun dan elektroda pengetanahan adalah sebagai jalan “ by pass “ bagi muatan bumi dan juga arus kilat untuk keluar atau memasuki bumi sehingga muatan bumi atau arus kilat tidak mengambil jalan melalui bagian-bagian lain dari bangunan yang bersangkutan.

2.2 Sangkar Faraday
Sistem pengaman bangunan terhadap sambaran kilat dengan menggunakan sistem Sangkar Faraday merupakan pengembangan dari sistem penangkal petir Franklin, sehingga dalam banyak segi, prinsip kerja dari sistem Sangkar Faraday dapat dikatakan sama dengan sistem penangkal petir Franklin.
Perbedaannya hanyalah terletak dalam segi penggunaan Ujung Penangkal dimana bila pada sistem penangkal petir Franklin digunakan batang-batang penangkal petir yang vertikal, maka pada sistem Sangkar Faraday digunakan konduktor-konduktor horisontal.
Sambaran kilat biasanya mengenai bagian-bagian yang runcing atau ujung-ujung dari atap bangunan, hal ini disebabkan karena pada bagian-bagian inilah terdapat rapat muatan yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan rapat muatan dari bagian-bagian atap yang lain dari bangunan tersebut. Oleh karena itu maka pada bagian-bagian yang berbahaya tersebut perlu dipasang konduktor horisontal yang berfungsi sebagai obyek sambaran kilat, sehingga bagian-bagian lain dari atap bangunan tersebut terlindung.
Untuk bangunan-bangunan yang beratap luas, perlu ditambahkan beberapa konduktor horisontal lagi diantaranya. Konduktor-konduktor itu harus terhubung secara listrik satu dengan yang lain.

Ini adalah prinsip dari Sangkar Faraday dimana konduktor-konduktor horisontal yang dipasang di bagian teratas lalu terhubung melalui konduktor saluran ke tanah dan terhubung ke elektroda pengetanahan dari bangunan seolah-olah membentuk sangkar pelindung yang melindungi bangunan tersebut terhadap induksi atau masuknya muatan dari luar yang membahayakan bangunan tersebut.
Untuk memperbaiki sistem Sangkar Faraday ini perlu ditambahkan beberapa batang penangkal petir yang pendek (finial) pada bagian-bagian dari atap bangunan yang diperkirakan mudah tersambar kilat, finial ini dihubungkan secara listrik dengan konduktor horisontal yang terdekat ( tujuan dari pemasangan finial ini adalah untuk memperlancar mengalirnya arus muatan dari bumi ke awan dan sebaliknya dari awan ke bumi ).
Cara pemasangan konduktor-konduktor baik mendatar maupun menurun tentunya haruslah diperhitungkan kemungkinan tegangan pindah yang terjadi, agar tidak membahayakan. Kalaupun ingin mencegah tegangan pindah ini dapat mempertimbangkan pemakaian kabel coaxial atau triax walaupun secara estetika gedung dan ekonomis tidak memenuhi kebutuhan.
Untuk gedung yang dipenuhi peralatan elektronik sangkar Faraday atau Franklin tidak dianjurkan karena medan yang ditimbulkan ketika terjadi sambaran dapat memperpendek waktu kerja perangkat elektronik terutama untuk perangkat yang memakai sinyal.

2.3 Sistem Penangkal Petir Dengan Unsur Radioaktif sebagai Ujung Penangkal
Penggunaan unsur radioaktif dalam sistem penangkal petir baru dikenal orang pada tahun 1914, inspirasi penggunaan radioaktif dalam sistem penangkal petir pertama kali dikemukakan oleh seseorang dari Hungaria yaitu Szillard J.B. pada “ Academy of Sciences “ di Paris pada tanggal 9 Maret 1914 dalam papernya yang berjudul Sur un paratonnerre au Radium. Sejak saat itu bermacam-macam sistem penangkal petir menggunakan unsur radioaktif dikembangkan lebih dalam. Pada Tahun 1972, Baatz mengembangkannya dengan Americium 241 dan tentunya melalui berbagai penelitian dengan mempertimbangkan hasil penelitian dari Müller Hillebrand (1962) dianggap lebih tidak berbahaya dibanding sumber ionisasi lain seperti Cobalt, Krypton, Radium dan Plutonium.
Pada prinsipnya, sistem penangkal petir diatas sama dengan sistem penangkal petir Franklin, hanya dikembangkan lebih lanjut yaitu dengan memperlengkapi kepala dari batang penangkal petirnya dengan unsur radioaktif yang memancarkan sinar alpha dengan intensitas yang cukup besar sehingga mampu mengionisasi udara di sekitar kepala batang penangkal petir tersebut.
Ada tiga pokok yang penting untuk diketahui, yaitu :
a. Ionisasi :
Proses disintegrasi dari unsur radioaktif biasanya disertai oleh pancaran sinar alpha, beta dan gamma. Sinar alpha mempunyai susunan atom yang sama dengan unsur helium, bermuatan positif sebesar + 2 atau q = 3.210–19 C dengan massa 6.6510–27 kg. Sinar beta terdiri atas elektron-elektron dengan muatan q = 1.6  10 –19 C dan massanya 9.1  10 –31 kg. Sinar alpha serupa dengan sinar X.
Kemampuan mengionisasi dari sinar-sinar  :  :  adalah 10000 : 100 : 1, jadi walaupun jarak radiasi dari sinar  hanya beberapa cm saja, namun karena kemampuan mengionisasi udara sinar  sangat besar maka dalam penggunaan unsur radioaktif pada sistem penangkal petir, sinar  mempunyai arti yang paling penting.
b. Ionisasi tumbukan pada keadaan dimana terjadi penumpukan muatan di awan, antara awan dan bumi timbul medan listrik yang kuat. Ion-ion yang berasal dari udara yang diionisasi oleh sinar , dengan adanya medan listrik tersebut akan mendapat percepatan yang sanggup melepaskan ion-ion dari atom-atom udara yang berada di sekitarnya. Demikianlah terjadi tumbukan secara terus-menerus yang merupakan reaksi berantai yang disebut ionisasi tumbukan.
c. Gradien tegangan di udara : pada keadaan terjadi penumpukan muatan di awan., gradien tegangan udara antara awan dan bumi akan naik, sedangkan gradien tegangan yang besar ini sangat mempengaruhi pembentukan ion-ion di udara. Gradien tegangan yang diperlukan agar terjadi ionisasi tumbukan adalah minimum 40 kV, dengan ketinggian kepala dari batang penangkal petir 20 m dari permukaan tanah, terlihat bahwa gradien di tempat tersebut dapat mencapai 400 kV sehingga hal ini dapat memastikan ionisasi tumbukan terjadi.
Ketiga uraian yang baru lalu menggambarkan proses kegunaan dari unsur radioaktif pada sistem penangkal petir. Bila ion-ion yang dihasilkan dalam proses berantai itu bertemu dengan ion-ion yang berasal dari awan , maka terjadilah sambaran kembali yaitu mengalirnya arus kilat melalui jalan yang dibentuk oleh ion-ion tadi ke bumi. Untuk memenuhi keperluan tersebut cukup dengan cara menempatkan lempengan yang mengandung zat radioaktif berlapis emas dan paladium pada posisi sekeliling ujung finial biasa.
Namun pada penelitian lebih lanjut ternyata tetap memberi kemungkinan membahayakan manusia karena radiasinya ditambah lagi oleh Cassie (1969) telah memperhitungkan secara teknis dan menyimpulkan bahwa pemakaian radioaktif tidak terlalu efektif. Untuk pemasangan sistem ini di Indonesia telah diatur dan pemasangannya dilarang sesuai keputusan Menaker dan Dirjen BATAN No. 45/DJ/31/III/77 tentang pemakaian, bersama membuat surat keputusan no.Kep.1880/Men./1987-PN 00 01/193/DJ/97 tentang “Penertiban izin pemakaian penangkal petir radioaktif dan larangan pemasangan yang baru”,
Resiko yang terjadi selama pemasangan adalah disaat terjadi lecet/kelainan/ tergores karena kesalahan manusia, tiupan angin, penyinaran partikel berat alpha dan pengaruh lainnya pada pelindung zat radioaktif tersebut. Ketika terjadi hujan maka wadah radionuklida akan tercuci sehingga menghasilkan air encer yang terkontaminasi yang selanjutnya dapat mencemari tanah.
Sehubungan dengan resiko dan larangan pemasangan maka Menaker juga mengeluarkan JUKLAK pelaksanaan pembongkaran penangkal petir radioaktif yang meliputi instansi yang boleh membongkar, cara pembongkaran, cara pengiriman dan lain-lain.

3 Sistem Pengetanahan
Sistem pengetanahan dilakukan agar arus petir dapat dialirkan langsung ke tanah. Maka tahanan pengetanahan haruslah sekecil mungkin agar jatuh tegangan penghantar dan elektroda pengetanahan kecil, sehingga menghindari tegangan langkah yang berbahaya.
Tiga faktor yang mempengaruhi besar dan kecilnya tahanan pengetanahan adalah sistem pengetanahan yang diterapkan, hubungan logam-logam dalam bangunan dengan elektroda-elektroda pengetanahan dan karakteristik dari tanah dimana sistem tersebut diterapkan.
Beberapa aturan yang dipakai pada sistem pengetanahan guna meng-antisipasi kegagalan penyaluran arus petir ke tanah, yaitu:
1. Elektroda pengetanahan dapat berupa elektroda plat pita, batang atau pondasi, untuk plat pita ditanam sekurangnya 50 cm dari permukaan tanah dan menyebar dengan sudut antar pita minimum 60. Untuk pondasi, digunakan untuk pengetanah instalasi penangkap petir, dan dilengkapi penyambung khusus antara elektroda dengan penghantar turun.
2. Pipa-pipa air minum yang ada bagian-bagiannya yang mengandung plastik dan pipa-pipa gas tidak boleh dihubungkan dengan sistem, material logam yang berjarak kurang dari 20 meter dan terutama berjarak kurang dari 2 meter dihubungkan ke sistem. Bila ada bagian metal dari instalasi bangunan atau sistem tenaga yang tidak dapat terhubung ke sistem maka dapat diketanahkan dengan tahanan pengetanah maksimum adalah lima kali jarak terkecil antara bagian-bagian metal dengan hantaran penangkal petir di atas tanah. Elektroda pengetanah instalasi penangkap petir dapat dijadikan satu dengan elektroda pengetanah instalasi listrik dengan tegangan kerja dibawah 1000 volt.
3. Penanaman elektroda tanah dihindarkan dari daerah yang dilalui pipa-pipa uap air (sumber panas), dijauhkan dari pintu keluar atau masuk suatu gedung untuk menghindari tegangan langkah, atau dapat dilakukan pemasangan lapisan permukaan pijak yang berisolasi (batu koral, dan lain-lain).
Untuk menentukan perencanaan pemasangan maka beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian adalah besar arus gangguan yang mungkin terjadi, luas tanah yang bisa dipakai, resistivitas atau tahanan jenis tanah, bentuk-ukuran-jenis konduktor elektroda pengetanahan yang dipakai.

3.1 . Resistivitas Tanah
Tanah dimana suatu elektroda pengetanahan ditempatkan haruslah mempunyai impedansi yang rendah. Besar resistansi tersebut adalah:

dimana  adalah resistivitas dari material terkonduksi, l adalah panjang jejak yang dilalui arus di bumi dan A adalah penampang dari jejak terkonduksi. Selanjutnya I adalah arus pada elektroda dan E adalah tegangan dari elektroda.
Tanah yang berada dibumi mengandung bebatuan dan kandungan berbagai larutan mineral. Ketika arus berjalan didalam tanah sebagai pergerakan ion maka konduksi ionik yang terjadi sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dari jenis kandungan mineral pada lembaban tanah. Peristiwa ionik ini terjadi ketika mineral didalam tanah terlarut dan gerakan dari ion-ion pengaruh dari potensial elektrik yang menyebabkan suatu media mampu mengkonduksi secara elektrik.
Untuk menganalogikan lebih jelas maka resistivitas diartikan dalam resistansi elektrik dari sebuah kubus dengan material yang homogen, dimana resistansinya sebanding resistivitas material dan berbanding terbalik dengan panjang dari salah satu sisi dari kubus tersebut. Maka dapat resistansinya dapat dirumuskan sebagai:
( 2)
dimana,
 = Resistivitas material, ohm – (dalam satuan panjang)
L = Panjang rusuk kubus, (dalam satuan panjang) dan
A = Luas salah satu sisi kubus, (dalam kuadrat satuan panjang).
Berbagai macam jenis resistivitas muncul sebagai fungsi dari tipe tanah, dan diklasifikasikan dalam beberapa tipe tanah yang tergolong berpotensi untuk ditanami elektroda pengetanahan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1 .

Tabel 1
Perkiraan Resistivitas Tanah

Tipe-tipe Tanah Resistivitas
(ohm-m) (ohm-cm) (ohm-ft)
Tanah Organik yang Basah 10 103 33
Tanah Lembab 102 104 330
Tanah Kering 103 105 3300
Bebatuan 104 106 33000

Sedangkan untuk tanah dengan kadar air maka resistivitas air juga diperhitungkan, oleh formulasi empiris dari Hummel (Münger, 1940)

dimana  adalah resistivitas tanah dalam ohm-meter, v adalah resistivitas air dalam tanah dalam ohm-meter dan p adalah volume relatif air di tanah. Secara ekperimental dipakai untuk p adalah nilai 0,1. Jika pada kondisi tertentu p = 0 maka persamaan akan berkesan tidak benar dengan kata lain untuk tanah yang kering akan mempunyai resistivitas yang tinggi sekali.
Nilai resistivitas ini sangat bervariasi ditiap kondisi geografis tetapi tiap negara akan mempunyai cirinya dan secara umum resistansi juga didapat dari fungsi panjang yang ditunjukkan pada gambar 3.3. Selain itu rumusan akan juga dipengaruhi bentuk dari elektroda yang dipilih

3.2 Pengukuran Tahanan Jenis Tanah
Terdapat dua macam metoda pengukuran yang umum dipakai yaitu metoda tiga titik dan metoda empat elektroda seperti pada gambar 3.4 dan 3.5. Metoda tiga titik yang dimaksud adalah titik pertama sebagai elektroda tes, kedua sebagai probe (pemeriksa) dan elektroda auxiliary (pembantu).
Seperti pada gambar 4 , tahanan pada elektroda tes didapat dari potensial di antara titik tes dengan probe dibagi arus antara titik tes dengan “aux”, dengan syarat haruslah mengatur posisi elektroda probe agar didapat besar resistansi total antara titik tes ke probe dan titik tes ke “aux” sama dengan besar resistansi antara titik probe ke “aux”.

Untuk metoda empat elektroda, elektroda-elektroda ini ditanam dengan jarak yang sama (D) dan dengan R adalah dari hasil perhitungan dari angka pada meter dimana potensial dibagi arus pada amperemeter. Adapun rumusan dari resistivitas adalah:
( 4)
Dalam usaha untuk membuat resistivitas yang baik agar didapat resistansi pengetanahan yang baik juga dapat dengan pemakaian zat kimia additive (tambahan) yang biasanya terdiri dari dua zat yang berbeda akan tetapi bila disatukan dan dikombinasikan di tanah maka akan membentuk campuran seperti jeli dengan resistivitas rendah.

3 Elektroda Pengetanahan
Pengetanahan atau pembumian secara umum dipahami sebagai penanaman elektroda dengan berbagai macam bentuk sesuai kebutuhan atau keinginan. Macam-macam pengetanahan antara lain yaitu penanaman batang konduktor tegak lurus dengan permukaan tanah, penanaman batang konduktor horisontal sejajar dengan permukaan tanah dengan kedalaman tertentu karena daerah berbatu dan tidak bisa ditanami batang vertikal. Pengetanahan dikembangkan menjadi bentuk kisi-kisi horisontal yang lebih menguntungkan. Tujuan awal adalah mendapatkan tahanan kontak yang kecil, dengan demikian maka dalam prakteknya ketika seseorang menanam satu batang vertikal ke tanah dan diukur ternyata tahanannya masih besar maka dengan berbagai usaha seperti menambah konduktor ataupun lainnya haruslah mendapat resistansi dibawah “5 ohm”.

Dari pembahasan sebelumnya jelaslah bahwa secara matematis untuk mendapatkan nilai resistansi R dari elektroda pengetanahan haruslah mempunyai parameter yang meliputi:
1. Resistivitas tanah
2. Resistivitas air tanah
3. Dimensi elektroda pengetanahan
4. Ukuran elektroda pengetanahan

Pada praktek, seringkali untuk mempersingkat waktu serta didukung kondisi tanah di pulau Jawa pada umumnya basah yang berarti ber-resistivitas rendah maka dipakai cara trial and error (dicoba sampai hasil terbaik) dibantu dengan alat ukur. Apabila bangunan dilihat dari segi struktur, konstruksi, tinggi, situasi dan pengaruh kilat ternyata mempunyai indek perkiraan bahaya (=R) yang besar maka pengukuran haruslah seideal mungkin dilakukan.

4 Sambungan
Bonding (penyambungan) memegang peranan yang penting dalam mewujudkan kestabilan sistem penangkal petir, kegagalan sambungan dapat menyebabkan kegagalan sistem. Sambungan yang dimaksud dapat berupa sambungan dengan braze (solder), weld (las), bolts (penyekrupan), rivet (keling) dan sebagainya yang menghubungkan konduktor ke bahan konduktor lainnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas dari suatu bonding adalah pemilihan bahan konduktor baik secara elektris maupun mekanis. Tinjauan elektris yang dimaksud tentunya adalah memperkecil gangguan akibat getaran maupun lompatan bunga api dan juga kekuatan sambungan terhadap arus yang melaluinya.

Tinjauan secara mekanis adalah bagaimana lama pemakaian, tingkat pengaruh korosi, getaran atau tarikan secara tidak sengaja, tempa ataupun tekanan gaya berat.
Terdapat dua macam penyambungan yaitu penyambungan langsung yaitu dengan las, baut, solder dan keling dan sambungan tidak langsung yaitu dengan strap (ikatan). Adapun besar resistansi bonding antara jenis metal yang dipakai diambil rata-rata seperti pada tabel berikut, brass (campuran seng dan perunggu).

Tabel 2
Resistansi DC Dari Sambungan Langsung

Komposisi Sambungan Resistansi (mikro-ohm)
Brass - Brass 6
Alumunium - Alumunium 25
Brass – Alumunium 50
Brass – Baja 150
Alumunium – Baja 300
Baja - Baja 1500

Pembersihan permukaan haruslah dilakukan agar penyambungan dapat lebih baik, karena di atas permukaan logam sering didapati materi padat seperti debu, kotoran/kerak, dan sebagainya. Selain itu juga didapati campuran organik seperti cat, minyak, dan sebagainya. Untuk membersihkan dapat menggunakan kertas gosok, sikat tembaga, skrap dan peralatan semacam, setelah itu bisa dikeringkan dengan cairan pembersih atau pengering lainnya.

5 Daerah Tangkap
Captive area yang diterjemahkan sebagai daerah tangkap dengan definisi yaitu daerah dimana bila sambaran pelopor masuk maka pastilah upward streamer (pita naik) akan diluncurkan dari bangunan itu. Hal ini dapat digambarkan sebagai sebuah gedung dimana tiap ujung atau sudutnya mempunyai radius atraktif (daya tarik) terhadap sambaran. Dalam perhitungan daerah tangkap media atau bahan atap dari bangunan tidak dibahas lebih dalam namun mengambil nilai-nilai untuk pendekatan saja.
Tiap sudut luar bangunan bagian atap sesuai dengan bentuknya mempunyai kemampuan untuk menarik dengan radius tertentu. Hal ini juga bergantung pada tinggi dari gedung itu sendiri, sebagai contoh dalam tabel 4.3 untuk bangunan dengan tinggi 10 meter atap datar berisolasi mempunyai radius atraktif rata-rata 41 meter. Sedangkan untuk bangunan dengan isolasi dan atap sama dengan tinggi 50 meter dapat mempunyai radius atraktif sebesar rata-rata 78 meter. Hal ini digambarkan pada gambar 6.
Angka-angka yang dipakai dihitung berdasarkan fungsi tinggi bangunan yang selanjutnya dijelaskan di bab berikutnya. Daerah tangkap ini akan diperhitungkan dalam usaha mengetahui kemungkinan sambaran pada suatu gedung atau menara dilingkungan dengan geografis, dan faktor-faktor lain tertentu. Dengan demikian dapat mempermudah kita dalam menentukan suatu sistem yang akan dipakai dan mengetahui seberapa penting memakai sistem penyetara tegangan yang dimaksud

Sebagai contoh perhitungan daerah tangkap yaitu suatu bangunan dengan panjang dan lebar yaitu 45 m dan 30 m, tinggi bangunan tersebut 9,5 m maka CA atau captive area dapat dirumuskan sebagai CA = (L + 2R)(W + 2R) dengan demikian didapatkan angka yaitu 13760 m2 dengan R atau radius mengambil nilai 40 m.

Tabel 3
Radius Atraktif Berdasar Fungsi Tinggi Gedung

Tinggi Gedung (m) Rata-rata Radius (m)
5 30
10 41
15 50
20 56
30 68
40 73
50 78

Untuk bangunan dengan bentuk lingkaran misalnya cerobong atau tanur dapat dihitung dengan CA =  (Ra + R)2 dimana Ra adalah radius dari lingkaran bangunan jadi bila diameter bangunan 15 m dan tinggi 30 m maka radius tiap titik pejalnya yaitu 66 m maka daerah atraktifnya adalah 20.600 m2. Seperti yang sudah dijelaskan maka beberapa patokan untuk R dapat dilihat pada tabel 2.
Untuk bentuk lainnya tentunya mempunyai perhitungan lebih rumit berdasarkan analitik dari bentuk dasarnya sesuai dengan rumusan matematis sederhana.

5.1 Perlindungan Bangunan Terhadap Petir
Perlindungan bangunan terhadap petir adalah suatu masalah umum yang akan dilakukan baik untuk melindungi isi gedung maupun sekitar gedung. Agar bangunan yang dilindunginya terhindar dari bahaya sambaran petir baik secara langsung maupun tidak langsung maka berbagai upaya dilakukan. Karena konstruksi dan bentuk bangunan mempunyai banyak keragaman maka perlu adanya suatu aturan umum untuk acuan dalam merencanakan sistem pelindung terhadap sambaran petir.
Aturan instalasi yang sudah ada dan banyak dipakai diantaranya adalah standart Inggris ( BS code of Practice cp 326 1965 ) dan standart Jerman VDE. Sedangkan di Indonesia atas prakarsa Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan ( DPMB ) yang bekerjasama dengan LAPI ITB telah pula menerbitkan standarisasi Penangkal Petir khusus bangunan, dengan ketua team penyusun Doctor Ing. K.T Sirait.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan dan memasang sistem penangkal petir, antara lain :
• keamanan secara teknis
• penampang penghantar-penghantar pengetanahan
• ketahanan mekanis
• ketahanan terhadap korosi
• bentuk dan ukuran bangunan yang dilindungi
• faktor ekonomis
Dalam perencanaan menentukan letak penangkal petir dan ketinggiannya agar didapatkan perlindungan terhadap petir yang efektif, secara umum bangunan digolongkan berdasarkan dua hal yaitu bentuk atap bangunan dan bahan dari atap bangunan.
Bentuk atap bangunan secara sederhana dapat digolongkan menjadi bentuk atap datar, bentuk atap runcing, bentuk atap dengan bangunan-bangunan kecil ( cerobong asap, antena dan lain-lain ) diatasnya dan bentuk tak teratur. Sedangkan bahan atap digolongkan menjadi : bahan atap bukan logam, atap yang sebagian mempunyai komponen logam, atap dari bahan logam.
Secara umum peraturan menentukan letak pangkal petir dengan sistem konvensional yaitu:
1. Bangunan dengan atap datar, bangunan-bangunan yang mempunyai selisih tinggi antara bangunan dengan lisplang kurang dari 1 m.
Prinsip perlindungan yang dipakai adalah cara Sangkar Faraday
• Sebagai penangkap petir adalah hantaran penyalur mendatar.
• Hantaran-hantaran penyalur utama mendatar dipasang pada atap, sepanjang tepi, sudut-sudut dan bagian runcing dari atap bangunan dan bagian- bagian yang menonjol.
• Jarak maksimal antara dua hantaran mendatar yang sejajar 15 m.
• Untuk memperbaiki sistem Sangkar Faraday, ditambah penangkap petir finial pada ujung sisi dan bagian yang mudah disambar petir. Jarak maksimum antara dua buah finial pada hantaran mendatar 5 m dengan tinggi minimum 20 cm.

2. Bangunan dengan atap runcing yaitu suatu atap dengan beda tinggi antara bumbungan dan lisplang lebih besar dari 1 meter.
• Jika lebar bangunan kurang dari 12 m cukup dipasang penangkal petir sepanjang bubungan dan hantaran paling sedikit dua buah pada jurainya.
• Jika lebar bangunan lebih besar 12 m, pada semua jurai dan lisplang dipasang penangkap petir.
• Penangkap petir batang tegak dipasang sepanjang bumbungan dengan jarak antara maksimum 5 m dan tinggi minimum 30 cm.
Atap bangunan dengan bangunan-bangunan kecil di atasnya, misalnya cerobong asap, bangunan lift dan lain-lain.
• Jika terbuat dari logam dapat dipergunakan sebagai penangkap petir dan dihubungkan oleh hantaran penghubung ke hantaran penyalur petir.
• Bangunan cerobong asap harus dipasang pelingkar puncak atau dua batang penangkap petir jika panjang penampang cerobong lebih besar dari 1,2 m. Jika penampang kurang dari 1,2 m dapat dipasang penangkap petir batang tunggal.
Atap bangunan dimana terdapat bagian-bagian dari logam misalnya pada jurai, lisplang, maka bagian-bagian logam ini dapat dipakai sebagai penangkap petir dengan persyaratan luas penampang penghantar minimum, dapat diandalkan secara listrik dan mekanis.
Atap bangunan dari logam:
• Jika dipakai sebagai penangkap petir, maka tebal minimum 0,5 mm jika terbuat dari tembaga atau setebal 0,8 mm untuk jenis logam lain.
• Jika tak dipakai sebagai panangkap petir maka penangkap petir dipasang sedemikan rupa sehingga tidak ada bagian atap yang berjarak lebih dari penangkap petir.
Untuk bangunan atap runcing dengan genteng keras bukan dari logam, pemasangan hantaran penyalur dibawah atap diijinkan jika tidak ada lapisan yang mudah terbakar dan bangunan bukan untuk menyimpan bahan-bahan yang mudah terbakar. Jarak penangkap petir antara 4 – 5 meter dengan tinggi minimum 30 cm diatas permukaan atap.
5.2 Hantaran Penyalur Petir
Hantaran penyalur petir benfungsi utama menyalurkan arus petir ke tanah. Disamping itu hantaran penyalur petir juga dapat berfungsi sebagai penangkap petir.
Dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi hantaran utama tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam merencanakan hantaran penyalur petir adalah :
1. Persyaratan listrik dan mekanis .
2. Jumlah hantaran penyalur dan jarak antara.
3. Penggunaan material- material logam pada bangunan untuk hantaran penyalur.
4. Cara pemasangan dan masalah korosi.
Secara garis besar peraturan- peraturan tentang hantaran penyalur petir adalah sebagai berikut :
Penentuan jumlah hantaran penyalur dan jarak antara hantaran penyalur ditentukan berdasarkan ukuran dari bangunan
• Lebar bangunan lebih besar dari 12 m, diperlukan paling sedikit empat buah hantaran penyalur petir.
• Setiap bangunan paling sedikit harus mempunyai 2 buah hantaran penyalur petir.
• Panjang bangunan lebih dari 20 m, diperlukan hantaran penyalur petir setiap mulai kelebihan dari 20 m. Jika lebar kurang dari 12 m tambahan ini hanya pada satu sisi, tetapi jika lebar lebih dari 12 m tambahan ini dipasang pada kedua sisi.
• Lebar bangunan lebih 20 m diperlukan tambahan sebuah hantaran penyalur pada kedua sisi untuk setiap kelebihan lebar 20 m.
Pada bangunan terdapat material-material dari logam ; seperti pipa air minum, pipa gas, konstruksi beton bertulang atau konstruksi rangka baja, dan lain-lain.
• Pipa air minum, bila semua terdiri dari logam dapat dipakai sebagai hantaran penyalur. Tetapi karena sudah banyak dipakai pipa plastik maka pipa air minum tak boleh dihubungkan dengan hantaran penyalur.
• Pipa gas tidak boleh dipergunakan sebagai hantaran penyalur petir.
• Benda-benda logam lainnya dapat dipakai sebagai hantaran penyalur dengan persyaratan mekanis, listrik dan ukuran minimum.
Dudukan hantaran penyalur harus terpasang dengan kuat dan bahannya sebaiknya sama dengan bahan hantaran agar tidak terjadi korosi. Sambungan antar hantaran harus kuat, baik secara listrik maupun mekanis dan memenuhi luas penampangnya.

Disarikan dari Artikel Ir.Syariffuddin Mahmudsyah,M.Eng (Guru Listrik-Teknik Listrik Perminyakan)

Tidak ada komentar: