Senin, 17 November 2008

Belajar Plotting dan Rekam Petir dari Jepang


Untuk meneliti petir, beberapa tahun lalu peneliti jepang (kalau tidak salah dari Nagoya University) repot2 ke Australia utk pasang banyak sensor petir karena intensitas tahunan petir di jepang agak rendah. prinsipnya simple, antena>>amplifier>>ADC utk digitasi data>>data processing>>lalu diplot. hasilnya, dia bisa merekam, mengestimasi jarak, posisi dan distribusi petir scr real time. ternyata mekasnisme petir ini mengikuti pola2 tertentu. selain itu, TEPCO (Tokyo Electric Power Co., PLN-nya Jepang utk wilayah Kanto/Timur) telah menyediakan peta online petir (tdr dr petir antar awan dan dr awan ke bumi) yg diupdate otomatis per 6 menit. http://thunder.tepco.co.jp/cgi-bin/main ... e=4&zoom=2 di situ juga bisa dilihat peta awan dan peta hujan. saat ini, sebagian peneliti jepang mulai meninggalkan pengamatan petir dari permukaan bumi. mereka mulai 'melihat' petir yg terjadi dari satelit2 mereka di orbit Geostationary. Kelihatannya mekanismenya dan jenis2 petirnya berbeda dgn yg biasa diamati dr bumi. siapa tertarik dgn fenomena petir ini? kenapa petir perlu dipahami?

(Disarikan dari http://www.te.ugm.ac.id/forum/viewtopic.php?f=11&t=3484)

Ancaman Petir Perlu Diwaspadai

Meski teknologi relatif sudah canggih, masih ada orang yang tewas disambar petir. Bukan hanya di luar rumah, lecutan listrik di angkasa ini bisa masuk rumah dan "menjilat" orang-orang di dalamnya. Tak terhitung harta benda yang rusak akibat sambaran petir. Pada musim hujan petir perlu diwaspadai.

Akibat sambaran petir, seorang anak di Depok tewas. Siang itu cuaca mendung dan hujan gerimis. Di dalam rumah, anak laki-laki itu sedang menonton televisi bersama anggota keluarga lain. Tiba-tiba kilat menyambar antena televisi dan masuk ke dalam rumah.

Petir terjadi karena ada pergerakan vertikal di udara. Pergerakan vertikal ini menyebabkan pemisahan muatan elektro negatif dan elektro positif. Pemisahan muatan ini pada akhirnya akan menimbulkan loncatan muatan di udara yang disebut petir.

Petir biasanya muncul pada saat akan hujan atau ketika hujan sudah turun. Namun, bukan berarti setiap hujan dan mendung akan selalu disertai petir. Menurut pengajar pada Program Studi Meteorologi ITB, Tri Wahyu Hadi, petir hanya terjadi jika ada awan Cumulonimbus (Cb).


Awan Cumulonimbus adalah awan yang terjadi sangat cepat akibat pemanasan tinggi di permukaan Bumi. Pemanasan di permukaan Bumi ini mendorong uap air naik ke atas dengan cepat. Oleh karena itu, ciri-ciri awan Cumulonimbus adalah bentuknya yang menggumpal seperti kapas dan membubung tinggi di langit.

Dari kejauhan awan Cumulonimbus penghasil petir mudah dikenali. Namun, kalau orang tepat berada di bawahnya, keberadaan awan ini agak sulit dideteksi. Syarif Hidayat, pengajar Teknik Elektro dan Informatika ITB yang juga dikenal sebagai ahli petir, mengatakan, kalau tiba-tiba langit berubah menjadi gelap dan angin sedikit kencang, berarti kita berada di bawah Cumulonimbus.

Kalau sejak pagi sudah turun hujan, bisa dipastikan petir tidak akan muncul. Ini disebabkan kondisi permukaan Bumi tidak cukup panas untuk membentuk awan petir.

Syarif mengatakan, petir di Indonesia sebagian besar aktif menyambar pada siang dan malam hari. Sambaran petir di daratan paling banyak terjadi antara pukul 13.00 hingga pukul 19.00. Pada periode tersebut pemanasan di daratan sudah mencukupi untuk membentuk awan Cumulonimbus.

Namun, di lautan petir justru terjadi pada pagi hari. Pada pagi hari laut lebih panas daripada daratan sehingga uap air di lautan naik ke atas dan bisa membentuk awan petir.

"Jumlah petir di darat tujuh kali lebih banyak dibandingkan di lautan," ungkap Syarif.

Syarif menambahkan, potensi terjadinya awan Cumulonimbus bisa diprediksi. Kalau pagi hari terasa panas terik dan kelembabannya tinggi, siang hari pasti akan ada awan Cumulonimbus. Karena dipengaruhi pemanasan daratan, kemunculan awan ini bersifat lokal.

"Itulah sebabnya keberadaan petir juga sangat lokal. Di satu tempat bisa banyak petir, sementara di tempat lain jarang terjadi petir," kata Syarif. Satu sel awan penghasil petir bisa berkumpul dalam radius lebih kurang tujuh kilometer.

Negara petir

Indonesia terletak di negara tropis yang sangat panas dan lembab. Kedua faktor ini sangat penting dalam pembentukan awan Cumulonimbus penghasil petir. Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki hari guruh (hari terjadinya petir dalam setahun) yang sangat tinggi.

Indonesia memiliki 200 hari guruh, sementara Brasil 140 hari, Amerika Serikat 100 hari, dan Afrika Selatan 60 hari. Daerah Cibinong, Jawa Barat, pernah tercatat pada Guinness Book of Records pada tahun 1988 dengan jumlah 322 petir per tahun.

Kerapatan sambaran petir di Indonesia juga sangat tinggi yaitu 12/km2 berpotensi menerima sambaran petir sebanyak 12 kali setiap tahun.

Petir bisa terjadi dari awan ke awan, dari awan ke Bumi maupun dari Bumi ke awan. Namun, yang terakhir ini jarang terjadi di Indonesia. Menurut Syarif, yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah petir dari awan ke awan dan sebagian lagi adalah petir yang menyambar dari awan ke Bumi.

Besarnya medan listrik minimal yang dihasilkan oleh petir bisa mencapai 1 juta volt per meter. Bayangkan apa jadinya kalau petir itu menyambar makhluk hidup yang ada di Bumi. Menurut Tri Wahyu, potensi kekuatan petir yang menyambar akan berkurang jika di awan sudah terjadi guruh-guruh kecil.

Sambaran petir ke Bumi sangat dipengaruhi kondisi sesaat yang ada di permukaan Bumi. Oleh karena itu, nyaris tidak pernah bisa memastikan petir itu akan sampai di mana. Menurut Syarif, semua bentuk permukaan Bumi bisa menyambut petir yang datang dari awan.

Obyek yang tersambar petir di Bumi tergantung dari besar-kecilnya pelopor petir yang datang ke Bumi. Kalau pelopor petir besar, akan menyambar obyek-obyek yang menonjol, seperti penangkal petir, menara, pohon, dan gedung tinggi.

Kalau pelopor petirnya kecil, akan menyambar obyek-obyek yang lebih rendah. Menurut Syarif, petir kecil ini sulit ditangkap dengan alat penangkal petir karena gerakannya lebih lincah. (Lusiana Indriasari)

Sumber: Kompas