Minggu, 21 Desember 2008

Petir dalam Mitologi Kuno dan Fenomena Bogor


Petir dan Bogor adalah dua hal yang sulit di pisahkan. Fenomena alam berupa kilatan cahaya di-langit itu memang identik dengan Kota Bogor, Bahkan, Bogor yang dikenal dengan sebutan kota hujan ini pernah memiliki hari sambaran petir per tahun ter­tinggi di dunia. Dari 365 hari dalam setahun, petir singgah sebanyak 322 hari di kota terse­but (88 persen dari jumlah hari dalam setahun).
Bogor hanyalah salah satu dari sekian banyak kota di Ta­nah Air yang kerap didatangi petir. Posisi geografis Indonesia menjadi penyebab tingginva sambaran petir tersebut. Karak­teristik wilayah Indonesia ter­bentang dari barat hingga timur khatulistiwa sepanjang 5.110 kilometer. Dengan garis meredi­an membujur dari utara ke selatan sepanjang 1.888 kilome­ter menimbulkan ancaman dan risiko tersendiri bagi Indonesia. Dengan posisi geografis seperti ini, Indonesia menjadi salah satu tempat di dunia ini yang memi­liki hari sambaran petir terting­gi di dunia.


Dalam mitologi kuno, sam­baran petir digambarkan seba­gai seorang petir bernama Zar­panit. Kisah ini terlukis di candi Summerer, Mesopotania Sela­tan. Dikisahkan, petir mempu­nyai daya rusak yang sangat tinggi. Jika dikaitkan dengan karakteristik Indonesia, aktivi­tas ekonomi masyarakat di In­donesia memang menghadapi ri­siko sambaran petir yang cukup besar dan berdampak negatif secara materi ataupun jiwa menurut Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Fisika,Universitas Nasional (Unas), Prof Djuheri; kerugian akibat petir sangat besar. Biasanya, penyebab dari kerusakan bangunan terutama­ karena besar dari arus petir dan kecuraman petir yang bisa men­capai 200 kA.

Kilatan petir mengandung muatan listrik 100 juta volt, Energi sebesar itu bisa mema­naskan suhu udara hingga men­capai 40 ribu derajat Celsius. "Bisa dibayangkan betapa besar energi yang dihasilkan atau be­tapa bahayanya jika menyambar makhluk hidup," katanya ke­pada Republika di Jakarta, akhir pekan lalu. Sebagai gam­baran, energi listrik yang dilon­tarkan dari kilatan petir itu setara dengan 300 ton beban yang jatuh pada ketinggian 100 meter.

Sebenarnya, kata Djuheri, sekitar 80 persen sambaran petir terjadi antar-awan, baik awan yang berbeda maupun di dalam awan itu sendiri. Baru sisanya sebanyak 20 person turun ke bu­mi. Namun, sambaran petir itu tetap masih banyak menimbul­kan kerugian. Dengan berkem­bang pesatnya peralatan elek­tronika dan mikroelektronika, sambaran tidak langsung men­jadi ancaman yang menakutkan meski menganai tempat jauh. Ketakutan itu, kata Djuheri, karena radiasi, induksi, dan konduksi dari gelombang elek­tromagnetik.

Seperti yang dicatat Badan Pemadam Kebakaran Austria, kerugian karena sambaran petir tiap tahun cenderung naik: Pada­1981 kerugian karena sambaran langsung berjumlah 34 kasus dengan nilai kerugian sekitar 7,50 juta dolar AS dan sambaran tidak langsung 16.049 dengan nilai kerugian 27,70 juta dour AS. Dalam satu dekade kemudi­an, meningkat menjadi 59 dengan nilai 12,219 juta dolar AS dan 25.685 juta dolar AS sambaran tidak langsung.

Sambaran petir tidak saja dapat merusak fasilitas dan aktivitas produksi, namun juga memerlukan waktu tersendiri untuk mengembalikannya pada kondisi sernua. Selama waktu perbaikan, perusahaan tidak saja kehilangan kesempatan untuk berproduksi, namun juga akan kehilangan konsumen.
Kerusakan instalasi komputer di Koln, Jerman pada 1989 merupakan ilustrasi yang sangat jelas, Sebuah gedung yang ber­jarak sekitar 100 meter dari lokasi instalasi komputer terse­but ikut tersambar petir. Kenaikan tegangan yang dise­babkan sambaran petir tersebut mengakibatkan kerusakan computer. Perbaikan perangkat komputer sekitar Rp 1 miliar, namun, kerugian karena tidak bekerjanya computer mwncapai Rp 4 miliar.


Dengan risiko petir yang demikian besar, maka diper­lukan alat penangkal petir. Saat ini telah dikembangkan alat elektrostatik dan membran sis­tem. Peralatan yang mempunyai tingkat efektivitas menangkal hingga 90 persen umumnya sudah terpasang di gedung-­gedung pencakar langit. Namun, di sektor industri kecil dan perumahan, alat tersebut belum terpasang. "Hanya sedikit yang menggunakan penangkal petir jenis elektrostatik dan membran sistem ini," katanya

Industri kecil ataupun perumahan warga masih banyak yang menggunakan penangkal petir konvensional atau bahkan tidak menggunakan penangkal jenis apa pun. Ini sangat berba­haya. Karena penangkal petir konvensional masih memungkinkan terjadi induksi bahkan menyebabkan penangkalnya ikut jebol. Namun meskipu bahayanya sangat besar, masyarakat tak acuh terhadap kerugian yang diakibatkan oleh petir Itu terlihat dari masih sedikitnya penggunaan penangkal petir.

"Untuk mengurangi kerugian akibat petir, masyarakat sebaiknya membeli elektronik yang mempunyai penangkal petir internal," cetus dia. Kini di pasaran, alat elektronik yang dilengkapi dengan penangkal petir internal sudah dipasarkan. Namun, masih saja ada pabrik yang mengabaikan antipetir internal ini.
Di Indonesia, hingga kini masih memungkinkan menjadi sasarann petir terbesar. Besar atau banyaknya petir sendiri terpengaruh oleh awan dan cuaca. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), secara umum frekuensi hari terjadinya sambaran petir di indonesia cukup tinggi. "Indonesia masih tetap menjadi sasaran," katanya.


Disarikan dari : http://www.djlpe.esdm.go.id/modules/news/mbl_detail.php?news_id=1567

Tidak ada komentar: